男女混合―Campuran

バリでは昔から、ガムランは男性が演奏するものと決まっていたようだ。最近になってPKK(Pembinaan/Pendidikan Kesejahteraan Keluarga=生活改善運動)と呼ばれる女性のグループも各バンジャール(自治会)で作られるようになってきた。日本では圧倒的に女性が多く、したがって日本のグループはいや応なく男女混合となるが、バリでは芸術祭等の特別な舞台のために男女混合グループが作られることはあっても、通常は男性だけ、女性だけのグループで演奏する。

2000年のPKB(Pesta Kesenian Bali=バリ芸術祭)ではアメリカのスカル・ジャヤと日本のスカル・ジュプンがムバルン(2つのグループが交互に演奏して競い合う)を行い、私はスカル・ジュプンの一員として参加した。どちらのグループにも多数の女性が参加していたが、スカル・ジャヤの女性は女性の正装(上はクバヤで下はカマンを女性巻き)であったのに対し、スカル・ジュプンの女性は全員が男性の正装をした。これに対しては賛否両論。実はスカル・ジュプン内部でも物議を醸した。バリ人にとって、女性が男装をすることなど考えられないようだ。私たち女性も、日本で演奏する時は堂々と男装するが、個人的にバリで演奏に参加させてもらう時には、女装する。スカル・ジュプンが全員男装をして舞台に登場した時には、観客のバリ人から「オー」という驚きの声が上がった。結果的には、男装と女装が入り混じるより、全員男装した方が見た目もかっこよかったという好評もいただいた。

演奏においても、混合グループで女性がクンダン、ウガール、トロンポンなどの主要楽器を演奏したり、曲によってパートを交替したりしたことは、バリの人々にデモクラシー(?!)という印象を与えたようだ。

但し、スポーツにも例えられるバリのガムランは、ある意味体力勝負の音楽である。スポーツの競技は男女別になっている、つまり、男女の肉体的違いは歴然としているわけで、特にバリの若者のクビャールの演奏は、まさに電光石火!目にもとまらぬ早技!なので、筋肉の足りない=瞬発力の足りない女性が混ざるのは難しいのか…

クンダン・チェドガン(cedugan=バチを使う太鼓)を習っていた時、私は汗だくになりながら、Kurang Ototnya(筋肉が足りない), Kurang Otaknya(脳みそが足りない)と自分を慰めていた。

あるいは、バリの女性は大変恥ずかしがり屋なので、慣習を破り、男性に混ざって演奏する勇気のある女性が、なかなか現れないのかもしれない。

けれどもいろいろな演奏形態があるし、女性ならではの表現力もあるし、筋肉が足りない分、工夫して補える部分もあると思うし(自らの経験から)…今後は、踊りだけでなく、演奏でもバリの女性の活躍を期待したいと思う。私もがんばるどー!

PKB

TOP

KOMPAS Rabu, 28 Juni 2000, 15:27 WIB

Seniman Jepang dan Amerika Tunjukan Kepiawaian Menari Bali
Denpasar, Rabu

Grup Kesenian Sekar Jepun, Jepang dan tim kesenian Sekar Jaya, Amerika Serikat saling menunjukan kepiawaian menari dan memainkan instrumen gamelan Bali memeriahkan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-22.

Penampilan kedua tim kesenian luar negeri dalam "International Gamelan Eshibition 2000" mendapat sambutan meriah dari ribuan masyarakat Bali maupun wisatawan mancanegara yang sedang menikmati liburan di Pulau Dewata, di panggung terbuka Nertya Mandala STSI Denpasar, Selasa malam.

Tim kesenian Sekar Jepun dengan 45 seniman seluruhnya dari negara "Matahari terbit" itu, hampir separuhnya wanita menunjukan kebolehan dalam bidang tari diiringi musik tradisional Bali.

Penggunaan satu panggung secara bergantian itu, grup Sekar Jepun yang dirintis oleh "Kunitachi of Music" sebuah perguruan tinggi musik di Jepang tahun 1982 dalam "duel" dengan Sekar Jaya itu menampil tari kebyar duduk, gabor, Jauk manis, sekar gendot, legong kuntul, jaran teji dan tabuh kreasi baru.

Tim kesenian yang dipimpin Yayoi Kusajima itu mampu memberikan "warna" dan menambah kesemarakan aktifitas tahunan seniman di Pulau Bali memasuki hari kesepuluh dari tiga pekan PKB berlangsung.

Grup kesenian Sekar Jepun yang beranggotakan 108 orang yang memiliki latarbelakang dalam bidang komputer, arsitektur dan keahlian lainnya kini lepas dari "Kunitachi or musik" dan menjadi grup independen dan memiliki studio di Omari, Ota-ku, Tokyo.

Penampilan grup Sekar Jepun di PKB kali ini merupakan yang kedua, sebelumnya pada PKB tahun 1987 dan pernah pula mengikuti International gamelan Festival II di Yogyakarta tahun 1995.

Sementara grup Sekar Jaya, Amerika Serikat dalam acara "duel memarung" itu menampilkan tari "telek, Talakalam, Tri Datu, Selat Segara" serta "tabuh kreasi baru".

Tim kesenian yang dipimpin Wayne Vitale itu melibatkan lebih 120 seniman, termasuk anggota keluarga. Penampilan kali ini merupakan yang kedua setelah meraih sukses dalam PKB tahun 1985.

Grup kesenian Sekar Jaya dirintis tahun 1979 oleh tiga serangkai masing-masing Rachel Cooper, Michael Tenzer, keduanya warganegara Amerika dan Wayan Suweca, dosen STSI Denpasar yang kala itu mengajar tari dan gamelan Bali di beberapa perguruan tinggi di Amerika.

Grup tersebut berawal dari sebuah workshop gamelan Bali di Berkeley dengan idealisme yang tinggi mempelajari gamelan dan seni budaya Bali.

Dalam usianya 21 tahun gamelan Sekar Jaya yang berpusat di negeri Paman Sam itu mampu memperkenalkan seni budaya Bali di dunia internsional lewat pementasan, workshop dan rekaman kaset pandang dengar (video) yang beredar di mancanegara.

Sekar Jaya sendiri memiliki anggota lebih dari 150 orang terdiri atas dosen, mahasiswa, artis profesional dan berbagai jenis keterampilan lainnya menunjukan kemampuan bidang tari dan memainkan instrumen gamelan Bali cukup bagus.

"Keberhasilan mendalami serta menguasai tari dan gamelan Bali tidak lepas dari disiplin, ketekunan berlatih yang ditopang oleh polesan pembinannya yang khusus didatangkan dari Bali, maupun belajar langsung ke Bali" kata Wayan Suweca ketika menyaksikan kepiawaian mantan anak didiknya.

Penampilan "duel" Sekar Jepun, Jepang dan Sekar Jaya, Amerika merupakan bagian dari 12 grup kesenian luar negeri yang ikut ambil bagian dalam PKB kali ini.

Grup kesenian luar negeri lainnya antara lain Cetresh Das Dance Company (India), Darwin Guirar Quarter (Australia) dan Cheju, Korea Selatan.

Tim kesenian luar negeri itu selain memeriahkan PKB juga mengadakan pementasan di Pengosekan Ubud, Arma Museum Ubud, Kabupaten Gianyar dan Desa Tunjuk, kabupaten Tabanan untuk memenuhi undangan dari masyarakat setempat.

Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Drs Ida Bagus Pangjaya dan Ketua STSI Denpasar Prof Doktor Wayan Dibya yang selalu menyaksikan penampilan tim kesenian luar negeri itu, berharap pada PKB mendatang lebih banyak lagi tim kesenian luar negeri bisa berperanserta.

"Kehadiran tim kesenian luar negeri itu mampu memberikan inspirasi baru bagi seniman setempat untuk meningkatkan mutu kreatifitas, selain mendorong masyarakat umum belajar dalam bidang berkesenian," ucap Pangjaya.(Ant/jy)

TOP

BALI POST Kamis Umanis, 29 Juni 2000

Budaya
Pemilihan Tempat Pergelaran di PKB Dinilai tak Cermat
Denpasar (Bali Post) -

Susunan jadwal dan pemilihan tempat pergelaran Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-22 dinilai tidak cermat sehingga terkadang membuat pengunjung kesal dan bingung. Contohnya, saat pergelaran gong kebyar mebarung antara Sekeha Gong Sekar Jepun, Jepang, dan Sekar Jaya, AS, Selasa malam (27/6). Saat itu banyak penonton mengeluh karena pementasan dilangsungkan di Gedung Nertya Mandala, STSI, yang bisa menampung tak lebih dari empat ribu pengunjung. Padahal jika melihat animo masyarakat yang begitu besar terhadap pertunjukan gong kebyar, seharusnya pementasan dilangsungkan di arena yang lebih luas seperti Ardha Candra.

Demikian rangkuman beberapa pendapat dari pengunjung PKB ke-22 yang dihimpun Bali Post, Selasa malam (27/6) dan Rabu (28/6) kemarin. Seorang penonton yang mengaku dari Kesiman, I Made Sudia, mengatakan kesal harus berdiri berdesak-desakan karena tak dapat tempat duduk saat menonton gong kebyar mebarung antara penabuh Jepang dan AS, Selasa malam itu. ''Saya tak kuat, dada jadi sesak. Lebih baik pulang,'' ujarnya ketika ditemui dalam perjalanan pulang di depan Wantilan Taman Budaya, Selasa malam. Padahal saat itu gong kebyar di STSI baru saja dimulai.

Kekesalan itu terjadi, menurut pengunjung lain, Neni Sudarti, akibat penyusunan jadwal dan tempat yang tak cermat. Beberapa hari lalu, kata dia, gong kebyar anak-anak dilangsungkan di arena yang tidak tepat yakni di Gedung Ksirarnawa yang kapasitasnya relatif terbatas. ''Jika melihat penggemar gong kebyar yang sangat banyak itu seharusnya pementasan gong kebyar dilakukan di Ardha Candra yang bisa menampung puluhan ribu orang,'' katanya. Padahal, lanjut Neni, ketika pementasan gong kebyar anak-anak dan gong kebyar mebarung antara Jepang dan AS itu panggung Arda Candra sedang kosong.

Tak hanya dari pengunjung, keluhan juga datang dari panitia penyelenggara. Seorang panitia yang tak mau disebutkan namanya mengatakan dengan dilangsungkannya pementasan gong kebyar di Nertya Mandala STSI ia mengaku lebih repot dari biasanya. ''Kami harus menata lampu kembali, memindahkan karpet dan hal-hal lain yang seharusnya tak perlu jika pementasan dilakukan di Arda Candra,'' ujarnya.

Dengan dipentaskannya gong kebyar di STSI, kata dia, Taman Budaya juga menjadi lebih sepi. Contohnya ketika pementasan gong kebyar di STSI. Saat itu, untung saja ada pergelaran kesenian Sasak di Wantilan, jika tidak ia memastikan Taman Budaya niscaya sepi jampi. ''Padahal seharusnya pementasan seni Sasak itu sudah dilakukan 18 Juni lalu,'' katanya.

Perajin yang sedang memamerkan kerajinan juga terkena pengaruh dari sepinya pengunjung di Taman Budaya ketika pementasan dilangsungkan di STSI. ''Ketika ada pementasan gong kebyar di STSI semua pengunjung tersedot ke sana, pameran kita tentu saja jadi sepi,'' ujar seorang penjaga pameran di bawah Arda Candra.

Sementara I Wayan Rai S yang mengurus pementasan sekeha gong luar negeri itu mengatakan berlangsungnya pementasan gong kebyar di STSI merupakan pilihan seniman peserta, bukan inisiatif panitia. ''Mereka (maksudnya Sekeha Sekar Jepun dan Sekar Jaya) memilih Nertya Mandala sebagai tempat pentas karena tempat ini dianggap lebih intim dengan penonton,'' katanya. (ado)

TOP

BALI POST Minggu Wage, 2 Juli 2000

Gebyar
Gairah Demokrasi Dalam Pentas Gamelan

ORANG Bali belum memperlakukan gamelan secara demokratis. Karena itu, kiranya perlu belajar dari Amerika dan Jepang. Tengoklah penampilan grup gamelan Sekar Jaya dari Amerika Serikat (AS) dan grup gamelan Sekar Jepun dari Jepang dalam Eksibisi Gamelan Internasional di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-22 tahun 2000, Selasa (27/6) lalu. Mereka bermain dan menggauli gamelan dengan begitu amat demokratisnya.

Kedua grup gamelan ini berungkap lewat Gong Kebyar, jenis musik tradisi yang amat populer di Bali -- dimiliki oleh setiap banjar atau desa. Yang menarik dalam penampilan pecinta gamelan dari AS dan Jepang ini adalah para pemainnya tidak terpaku hanya memainkan satu instrumen saja. Melainkan berpindah-pindah dan berputar -- sangat mencolok pada Sekar Jaya. Lagi bermain kendang, lagi meniup suling, lalu berpindah memainkan cengceng.

Kebiasaan menabuh gamelan berpindah-pindah tempat dalam satu paket pementasan, jarang terjadi di Bali. Bukan karena para penabuh di Bali tidak mampu merangkap menguasai sekian instrumen. Para pemain gamelan di Bali tetap berada di tempatnya, jika tak ada sesuatu yang sangat mendesak, dari awal hingga akhir pementasan. Mungkin baru dalam kesempatan pementasan di lain waktu ia memainkan instrumen yang lain.

Bahkan dalam sekeha gamelan di desa-desa, tugas masing-masing penabuh sering dipatok (walau bukan suatu kesepakatan) secara permanen. Maka ada tukang gong abadi. Ada pemain cengceng sampai tua. Atau ada tukang suling yang gigi depannya amblas, padahal masih tergolong berusia muda, karena bertahun-tahun meniup bambu berlubang itu. Tugas dalam sekeha gamelan ini tidak hanya berhenti saat menabuh saja. Malahan dikenang oleh orang Bali sampai mati.

Di tengah masyarakat Bali dikenal misalnya I Gedot adalah tukang ugal desa anu. I Genjor adalah tukang gupek banjar anu. I Gederan adalah tukang trompong hebat yang pernah ikut festival, dan seterusnya. Bahkan sering tugas permanen dalam sebuah sekeha, diwarisi anak atau keturunannya. Padahal belum tentu keturunan berminat atau mewarisi bakat ayahnya. Jika pun berbakat dan didaulat belum tentu juga mau -- mungkin karena pergeseran visi terhadap status sosial "tukang gambel".

Padahal gamelan itu sendiri, Gong Kembyar misalnya, justru merupakan cerminan dari ungkapan nilai yang sangat demokratis. Dalam ensambel Gong Kebyar, semua instrumen, sesuai dengan tugas dan fungsinya, adalah sama pentingnya. Kajar misalnya yang tampak "dungu", walau bunyinya hanya itu-itu saja, tugasnya adalah menjaga stabilitas matra sebuah lagu. Sedikit saja kajar lengah atau salah, sebuah sajian tabuh bisa macet bahkan berantakan. Demikian pula instrumen gong dan kempur yang kalem serta jarang ngomong itu, adalah hal tokoh sepuh yang arif dan hanya bicara bila dianggap sangat perlu. Namun sebuah lagu tak sempurna bila gong belum berbunyi.

Ekspresi demokrasi itu lebih eksplisit terlihat dalam gaya permainan Gong Kebyar. Peluang permainan individu yang menonjol dalam gamelan ini merupakan manifestasi keterbukaan berbagai aspirasi dari semua anggota dan golongan masyarakat. Apalagi dalam Gong Kebyar, dimana semua instrumen bisa memulai sebuah lagu, adalah ungkapan demokrasi yang sangat esensial dalam perkumpulan individu atau kelompok perserikatan individu. Gayanya yang bebas dan suaranya yang bagaikan petir merupakan aspirasi demokratis pula. Belum lagi keterbukaannya mengadaptasi elemen-elemen musik lain.

Menurut pengamatan para komponis, bahwa instrumen-instrumen dalam gamelan Bali, khususnya dalam Gong Kebyar telah memiliki fungsi-fungsi sebagai pembawa lagu, pemurba irama, memperkaya ritme dan fungsi-fungsi lainnya. Dalam gamelan Gong Kebyar, ditetapkan terompong dan giying sebagai pembawa lagu; jegogan calung, dan penyacah berfungsi sebagai pemangku lagu; gong, kempur dan kajar sebagai pemangku irama (ritme); dan kendang serta cengceng berfungsi sebagai pemurba irama.

Kesenian adalah simbol masyarakat. Demikian pula gamelan sebagai budi daya estetik manusia merupakan simbol dari masyarakat dan mengandung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sebuah barungan gamelan, Gong Kebyar dalam hal ini, adalah manifestasi sebuah masyarakat. Masing-masing komponen itu semuanya berusaha menjaga keutuhan dan harmoni sebuah masyarakat atau negara dalam entitas yang lebih luas.

Jika kita tengok kembali penampilan Sekar Jaya dan Sekar Jepun ini arena PKB, betapa nilai- nilai demokrasi itu begitu kental tercermin. Misalnya demokrasi gender. Para pemain pria dan wanita memiliki hak sama dalam memainkan berbagai instrumen. Selain memiliki keterampilan yang tak jauh berbeda dengan penabuh prianya, beberapa instrumen penting seperti ugal, trompong atau rebab misalnya, dipercayakan kepada penabuh wanita. Bahkan seluruh penabuh wanita Sekar Jepun berpakaian seperti penabuh pria di Bali, kamben makancut lengkap dengan udeng di kepala.

Sekar Jaya Amerika memamerkan simbolik demokrasi ras dalam sebuah sajian tarinya, Tridatu. Tiga orang pencari yang melukiskan Siwa, Brahma, dan Wisnu itu, masing-masing mengenakan kostum berwarna putih, merah, dan hitam. Uniknya warna kulit ketiga penari itu juga tri warna. Yang memerankan Siwa berkulit kuning, yang menjadi Brahma berkulit coklat, dan yang sebagai Wisnu berkulit hitam. Pada realitasnya memang, para penabuh dan penari Sekar Jaya sebagai grup seni pertunjukan yang berasal dari negeri multi etnis, berasal dari berbagai warna kulit.

Kita sebagai pewaris gamelan semestinya bisa lebih baik dalam hal budaya demokrasi. Tetapi kearifan dimensi demokrasi gamelan agaknya belum mampu menggedor status quo feodalisme, fanatisme agama yang membabi buta, solidaritas etnosentrisme nan arogan, dan kepentingan- kepentingan sesaat yang sempit. Jika bangsa yang majemuk ini bisa memaknai nilai demokrasi dan harmoni yang dipantulkan oleh jagat gamelan, bisa jadi disintegrasi bangsa tak akan pernah mengemuka. Tetapi bukankah para pemimpin bangsa ini adalah orang-orang yang berasal dari budaya gamelan? Dulu, Soekarno yang berdarah Jawa-Bali itu, mungkin terlalu asyik dengan proyek-proyek mercusuarnya. Dulu, Soeharto yang sejak kecil akrab dengan gamelan Jawa mungkin mabuk kepayang uang. Kini, Gus Dur justru terlalu doyan meniup seruling dan menabuh kendang, mengiringi lenggak-lenggok tari ular berbisa.* Kadek Suartaya